Minggu, 10 Oktober 2010

HARUS SEMANGAT ABIS BACA INI!

Dear my friend who read this,

Namaku Luna, Aluna Saras Putri. Kini aku berusia 22 tahun. Sejak berumur 13 tahun, aku sudah tidak dapat bersekolah lagi. Keterbatasan fisik dan biaya yang menghalangi semuanya. Tapi kini aku mendapatkan kehidupanku kembali.

Dulu, aku adalah anak yang tidak berkekurangan sedikit pun. Pendidikan, pakaian, makanan, tidak ada satu pun yang kurang dari hidupku. Bahkan bisa dikatakan aku berkehidupan lebih layak dari pada anak-anak sebayaku waktu itu, sangat sempurna. Aku memiliki papa dan mama yang begitu sibuk, seakan tak ada waktu untuk anak-anaknya. Terkadang mereka lupa bahwa aku adalah anak mereka. Kedua kakakku yang sudah lulus SMA waktu itu, langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di Australia, tinggallah aku dengan supir keluarga dan kedua pembantu rumah tangga keluargaku. Tak ada tempat bercerita saat itu. Saat aku merasakan kesakitan yang begitu menyiksa di dalam tubuhku. Aku hanya bisa merintih kesakitan, tak ku hiraukan sedikit pun ucapan orang-orang di sekitarku. Dalam kesakitan itu, ku bawa tubuh yang begitu terasa letih itu ke dokter kepercayaan keluargaku. Dan betapa terkejutnya aku saat beliau mengatakan bahwa aku menderita leukemia atau kanker darah, dan menginjak stadium 2. Hanya aku dan dokter yang mengetahui ini, dokter memintaku untuk memberitahu kedua orangtuaku, namun tak sepatah kata pun aku ucapkan pada mereka. Biarlah aku memendamnya sendiri, toh penyakit ini aku yang merasakannya. Namun, aku tetap tak sanggup menahan penyakit ini, akhirnya ku katakan penyakitku kepada pembantuku. Hanya dia yang memperhatikan keadaanku. Muncullah rasa sakit hati pada diriku. Dimana orang-orang yang aku sayangi saat aku sakit, mengapa hanya orang-orang yang sayang padaku yang ada kapan saja untukku. Apa gunanya aku mempunyai kehidupan sempurna, tapi kasih sayang dari orangtuaku tak pernah aku rasakan. Rasa sakit hati terhadap kedua orangtua dan kakakku itu mulai mendalam dan semakin mendalam.

Tak lama, sekitar 2 bulan setelah aku mengetahui penyakit yang bersarang di tubuhku, aku mendapat berita bahwa papa dan mama mengalami kecelakaan, dan tak seorang pun terselamatkan. Awalnya, aku tak merelakan kepergian mereka yang begitu cepat dan menyisakan kesedihan dan penyesalan mendalam di diriku. Tak sedikit pun aku mengingat kemarahanku pada mereka. Namun, lama kelamaan aku berfikir bahwa tak ada gunanya ini semua, walau pun aku menjerit sekuat tenaga, mereka tak akan kembali ada di sini. Hanya doa yang kupanjatkan setiap harinya pada Tuhan yang Maha Kuasa, berharap mereka tenang dan bahagia di sisi-Nya.











Setelah kepergian kedua orangtuaku, aku tidak bersekolah lagi. Kerjaku kini hanya duduk dan hidup dengan harta peninggalan kedua orangtuaku. Namun, lama kelamaan uang-uang itu habis, dan aku hanya bisa duduk di kursi roda. Kini aku tinggal dengan mantan pembantu dan supirku dulu, kebetulan mereka adalah sepasang suami istri. Tapi kebutuhan mereka saja belum dapat tercukupi, ditambah lagi dengan anak mereka yang menjadi korban malpraktik dan menderita busung lapar, kini aku hanya menjadi beban bagi mereka. Tapi, apalah dayaku, hanya mereka satu-satunya tempatku menumpangkan hidup agar tidak terlantar. Kedua kakakku tak berminat menampungku, walau pun mereka tau aku adalah adik kandung mereka. Pernah pembantuku berusaha membawaku menemui kedua kakakku, hanya sekedar memperlihatkan keadaanku kini, mereka dengan kejamnya mengusir dan menghina kami,”kau bukan adikku, adikku sudah mati!”, kata-kata itu yang paling teringat di pikiranku saat dia mengusirku dulu. Tapi karma Tuhan, tak lama setelah dia mengusirku, anaknya meninggal karena demam berdarah.

Tuhan, mengapa kau beri cobaan ini padaku, hambaMu yang tak dapat berbuat apa-apa. Andai aku tak mengidap penyakit ini, aku akan berusaha untuk menghidupi diri sendiri tanpa membebani orang lain, bukan mengemis-ngemis, setidaknya berjualan Koran. Tapi, Tuhan punya rencana lain.

4 bulan kemudian, aku divonis oleh dokter yang aku temui di puskesmas desa bahwa umurku tak panjang lagi, sekitar 1 atau 1,5 bulan lagi. Begitu banyak yang tersirat di pikiranku saat itu, antara hidup dan matiku, tapi hanya Tuhan yang selalu muncul di antara itu semua.

Alhamdullillah,
Ternyata vonis dokter salah, setelah 8 bulan aku divonis sembuh total di umur 19 tahun. Kemungkinan terserang penyakit yang sama kembali begitu sangat tipis. Kehidupan keluarga supirku dulu, kini mulai membaik. Anaknya kini bisa sembuh dan dapat bersekolah kembali. Supirku kini mendapat pekerjaan tetap sebagai cleaning service di suatu perusahaan. Pembantuku kini membuka catering kecil-kecilan di rumah kontrakannya yang baru 4 minggu kami tempati. Kini aku bekerja di suatu perusahaan sebagai supervisor dan meluangkan waktuku dengan berkuliah mengambil jurusan kedokteran setelah hampir 2 tahun aku bekerja, tanpa membebani keluarga yang menjadi tempatku menumpang. Bahkan, aku berbalas budi kepada mereka dengan membiayai bimbingan belajar anaknya.

Terima Kasih Tuhan, kini aku mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, setelah cobaan yang kau berikan kepadaku. Kini aku mengerti arti cobaan yang Tuhan berikan padaku, dulu.


Semangat,

Dr. Aluna Saras Putri, Spesialis Penyakit Dalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar